Berkeliling Kota Padang di malam hari cukup mengasyikkan. Berbagai pemandangan malam banyak yang terlihat indah, bahkan menggiurkan. Terlebih bila sedang duduk di atas Jembatan Siti Nur Baya, di Maro Padang. Sambari berdiri di atas jembatan, dari situ, indahnya kelap kelip lampu kota Padang di malam hari bisa disaksikan dari kejahuan. Bahkan, nyanyian dan alunan musik dari beberapa kafe tenda biru, juga bisa
dinikmati dari atas jembatan Siti Nur Baya.
Di malam hari, berbagai makanan khas, banyak tersedia sepanjang Jembatan Siti Nur Baya, seperti jagung bakar, pisang bakar dan makanan ala bakar lainnya. Rasanya pun sesuai, sedikit pedasnya bisa membuat kehangatan di malam yang dingin. Buktinya, tiap malam lokasi ini selalu diramaikan pengunjung. Baik lokal maupun dari luar KotaPadang. Bisa jadi ini mungkin disebab legenda Siti Nur Baya yang cukup menasional.
Sambil duduk menikmati jagung bakar, selain bisa melihat suasana malam Kota Padang dari kejauhan, dari atas jembatan, kita juga bisa mendengar suara-sura musik dari jejeran kafe-kafe mini bertenda biru yang ada di sepanjang tepian sungai Murao
Padang. Tembang lama dan hous musik bergeming seakan menambah malam semakin panjang. Tak sempurna rasanya bila berada di Jembatan Siti Nur Baya, tidak ikut berbaur dengan pengunjung kafe-kafe itu. Bersenang-senang menghabiskan malam. Mereka yang berdatangan, hanya sekedar mencari hiburan setelah disibukkan dengan berbagai aktivitas dalam sehari. Meski tempatnya terkesan sederhana, namun rasanya cukup menghibur.
Mungkin seiring berjalannya kehidupan di kota menuju metropolitan, tak sedikit tempat hiburan pun mulai menjamur, terutama disepenjang tepian Murao Padang. Di sana orang yang mencari hiburan dan kepuasan terlihat ramai. Biar berkesan romantis, lampu hias dan payung berwarna-warni terpasang rapi. Keberadaan wanita penghibur yang sering disebut dengan pramuria, juga tak luput berperan di kafe-kafe tenda biru itu.
Sungguh dilematis. Keberadaan mereka juga masih dianggap tabu di tengah masyarakat, dimana, mereka harus menerima respon negatif dari masyarakat. Pada hal, mereka bertaruh seluruh jiwa raga ditengah larutnya dan dinginnya malam, hanya untuk sekedar melanjutkan kehidupan. Daripada menyebut mereka pramuria, saya lebih suka mengatakan mereka itu adalah wanita-wanita tangguh.
Kenapa tidak, mereka ibaratnya, seperti kelelawar yang terbang kian kemari (dari kafeke kafe), mencari kebutuhan hidup. Tapi, stop dulu, bukan berarti saya mengatakan mereka mencari mangsa dengan menggunakan taring atau harus mencuri. Mereka mencari hidup dengan menjual suara lembut manjanya, meski harus merelakan tubuhnya berada dalam pelukan para lelaki hidung belang.
Kafe tenda biru ini memang terkesan sederhana, di meja bulat pelastik tempat para pengunjung duduk terletak beberpa botol minuman bir, sebagian sudah kosong dan sebagian lagi berisi. Sambil bernyayi, para wania pengibur terlihat setia mendampingi tamu-tamunya. Sedikit senyum manja yang terpancar dari bibir merahnya, ternyata ibarat senjata ampuh yang bisa melumpuhkan
Jari lentik di cat merah. Begitu juga bibir mungilnya teroles gincu merah, sesekali, tangannya merapikan bajunya yang terksan cukup minim. Lokasi tepian Muaro dekat dengan laut, angin selalu terasa kecang pada malam hari. Rok pendek yang dikenakan terkadang tertiup angin hingga sedikit naik ke atas, paha mulusnya terlihat menggoda.
Sedikit dada terkuak dan membusung, saat menuangkan minuman tamunya. Senyuman nakal membuat lelaki hidung belang ini tak bisa menolak keinginanya. Pengaruh alkohol dan suara musik yang mengalun indah, membuat suasana semakin bertambah hangat. Tangan-tangan jahil pun mulai beraksi merabahi tubuhnya. Namun mereka tetap saja tersenyum seakan tak ada rasa menolak. Bahkan mereka tetap saja tersenyum dan menatap dengan nakal, dengan tujuan tamunya terus bisa nenambah minuman dengan harapan agar Fi perbotolnya bisa bertambah.
Keberadaan kafe tenda biru di murao ini memang sering mengusil tugas Sat Pol PP. Sebab, keberadaan bagunan kafe tersebut berada di atas fasilitas umum yang dilarang oleh pemerintah. Para pemilik kafe dan Pramuria ini, terkadang takut kehidupan mereka akan terputus, bila macan perda ini ngamuk dan mengobrak abrik tenda biru milik mereka. Setiap kali razia, tak jarang mereka memaki-maki petugas,karena tak ingin sumber kehidupan mereka tergaduh.
Faktor ekonomi memang membuat semua orang bisa melakukan apaun demi memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai manusia tentu telah mempunyai norma-norma yang telah ada sejak dulu yang berfungsinya untuk mengatur kehidupan manusia yang sangat kompleks, bukan hanya sekedar untuk membatasi segala tingkah laku manusia. Namun bagaimana lagi, lika-liku kehidupan ini tak sama, sehingga sebagian orang memilih jalan yang berbeda, meski itu telah menyalahi norma atau agama.
Artis Pemakai Narkoba Tak Ditangkap Asal Lapor
-
Jika selama ini para selebritas yang terlibat penyalahgunaan narkoba
langsung ditangkap petugas polisi, maka penangkapan tidak bakal dilakukan
bila mereka ...
14 tahun yang lalu


















0 komentar:
Posting Komentar